Salam kenal. Saya adalah mahasiswa
S1 Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya angkatan
2008. Dulu jurusan ini bernama Teknik Geodesi. Sebenarnya tahun ini saya akan
resmi melepas status mahasiswa tersebut. Kartu tanda mahasiswa saya pun sudah
dicabut, tetapi saya belum diwisuda. Walaupun demikian, alhamdulillah saat ini
saya diberikan kesempatan menempuh studi lanjut di jurusan yang sama. Sehingga
saya tetap merasa sama-sama belum lulus dengan teman seangkatan saya yang masih
berkutat dengan tugas akhir.
Oke, kembali ke judul. Saya rasa Anda pernah mendengar kata geodesi walaupun sangat
samar-samar. Dulu saya memilih kuliah di jurusan ini, karena dalam pandangan
saya, dunia engineering yang paling dekat dengan astronomi adalah teknik
geodesi. Dari beberapa sumber yang saya baca, geodesi adalah cabang ilmu
matematika terapan yang mempelajari penentuan posisi secara teliti di permukaan
Bumi, menentukan bentuk dan dimensi bumi, dan variasi gaya berat dan medan
magnet Bumi dalam skala lokal, regional, dan global sebagai fungsi waktu, baik
untuk keperluan ilmiah maupun untuk keperluan praktis seperti pembuatan peta.
Perkembangan teknologi komputer dalam pemecahan problem-problem terkait geodesi
membawa ilmu geodesi ke dalam suatu terminologi baru yang disebut geomatika.
Kalau Anda ingin tahu lebih jelas tentang geodesi dan geomatika, saya
merekomendasikan tulisan Bapak Klaas Jan Villaneuva tentang geodesi dan
geomatika yang sangat mencerahkan. Beliau adalah dosen Geodesi ITB. Saya akui
ide menulis catatan ini terinspirasi dari tulisan beliau. Bedanya, kalau tulisan
itu ditulis dari sudut pandang dosen, maka saya akan mencoba menulis dari sudut
pandang mahasiswa. Mencoba menulis berdasarkan pengalaman saya sebagai yang
diajar, bukan yang mengajar (insya Allah suatu saat nanti saya juga bisa
menulis catatan dengan sudut pandang seperti Pak Villaneuva).
Ketika saya memulai menulis catatan ini, perkuliahan tahun akademik 2012/2013 di ITS baru berlangsung selama 1 minggu. Tahun akademik baru di ITS, tentunya tidak terlepas dari fenomena beredarnya mahasiswa-mahasiswa baru (maba) yang mencari-cari ruang kuliah umum yang tersebar di seluruh ITS. Di ITS, mata kuliah umum diajarkan bersama-sama dengan mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain. Ini dimaksudkan agar mahasiswa dari berbagai jurusan bisa saling mengenal dan saling mengetahui jurusan masing-masing. Tetapi ada juga mahasiswa cerdik yang curi-curi kesempatan untuk memperoleh efek samping. Seperti yang (konon katanya) dirasakan manfaatnya oleh maba Teknik Perkapalan yang justru menyukai mata kuliah umum. Alasannya? Secara statistik, jumlah mahasiswa Teknik Perkapalan per angkatan mencapai lebih dari 100 orang. Nah, persentase mahasiswi dalam satu angkatan hanya berkisar 10%. Terbayang sendiri ‘kan “kering”-nya jurusan mereka? Mereka yang berurusan dengan transportasi air, justru malah “kering”. Tidak jauh berbeda dengan jurusan saya walaupun persentasenya sedikit lebih banyak. Maaf ya ini cuma mitos, saya juga kurang tahu siapa yang mencetuskan. Tapi begitulah pengamatan saya dan banyak teman-teman saya yang mengakuinya. Yang jelas, mahasiswa Teknik Perkapalan pasti lebih tahu.
Oh iya, di tulisan ini saya akan lebih banyak memakai istilah Teknik Geodesi daripada Teknik Geomatika. Sebenarnya istilah Teknik Geomatika lebih tepat untuk digunakan karena akan banyak sekali hal yang dibahas di sini. Tetapi untuk menjaga rasa syukur, saya memakai istilah geodesi. Lebih langka dan ekslusif.
Yang “Masih Perlu Dibenahi” di Teknik Geodesi, Khususnya ITS
Melihat maba beredar di seantero ITS, saya pun jadi ingat bahwa saya pernah jadi maba. Pada masa maba inilah saya mulai membanding-bandingkan jurusan saya dengan jurusan lain. Mulai tentang perbandingan jumlah mahasiswa, membicarakan soal prioritas kesekian pada saat SNMPTN, impian kerja setelah lulus, dosen killer, kalkulus dan fisika dasar, bahkan sampai masalah cewek! Haha.
Ada yang berbeda, antara mahasiswa Teknik Geodesi dengan jurusan lain. Itu yang saya rasakan saat itu. Dari segi jumlah mahasiswa, kami termasuk inferior jika dibandingkan jumlah mahasiswa baru jurusan lain. Dari sekian banyak peserta SNMPTN, hanya berapa persen ‘sih yang memilih Teknik Geodesi sebagai pilihan pertama? Inilah yang menjadi pertanyaan wajib senior kami waktu maba dulu. Saya rasa sedikit. Ya, kebanyakan teman senagkatan saya memilih Teknik Geodesi sebagai pilihan kedua. Rasanya di jurusan ini, mereka-mereka yang kuliah seolah mereka yang “tersisihkan” dari ajang perebutan bangku kuliah jurusan lain yang lebih terkenal dan menjanjikan. Saya pernah membaca blog salah seorang mahasiswa Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), bahwa terdampar di teknik geodesi bukanlah seperti yang diharapkannya. Dengan modal IP pas-pasan, bisakah ia berharap masuk jurusan Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan yang banyak difavoritkan di sana? Bahkan ia sampai bersumpah serapah karena tidak tahu jurusan macam apa itu geodesi. Menurut saya wajar saja kelangkaan ini terjadi mengingat istilah geodesi sebagai suatu cabang keilmuan tentu terdengar asing di telinga orang awam. Kalau bicara soal cabang-cabang ilmu, tentu orang lebih dahulu akrab dengan nama cabang ilmu misalnya yang berakhiran dengan kata-kata –logi, -grafi, -nomi, dan –ika. Bahkan saya yakin banyak orang sudah tahu dari mana istilah itu berasal dan apa artinya. Seperti biologi, geografi, ekonomi, dan fisika, bukankah pelajaran2 itu adalah bagian dari kurikulum pendidikan menengah di seluruh Indonesia? Nah kalau yang ini, akhiran –desi dari mana datangnya? Kata “desi” di sini nggak ada hubungannya sama cewek ya. Ketika saya memilih melanjutkan pendidikan di Teknik Geodesi pun, guru-guru saya banyak yang bertanya ilmu macam apa itu. Saya sendiri belum terlalu tahu saat itu. Kalau saya memberi tahu geodesi adalah salah satu ilmu kebumian, pasti disambung-sambungkan dengan saudaranya yang lebih terkenal, yaitu geologi dan geografi. Padahal sebenarnya ilmu-ilmu itu sama saja tuanya. Oke diambil positifnya saja, bahwa yang masuk jurusan ini adalah orang-orang terpilih. Haha.
Dari segi infrastruktur, karena jurusan saya terbilang baru, maka gedung kuliah pun baru dibangun setelah sebelumnya menumpang di jurusan Teknik Sipil. Dan itupun sebenarnya masih belum mencukupi baik untuk ruang kelas, ruang tata usaha dan laboratorium (opsional). Khusus soal laboratorium, kenapa saya kasih keterangan opsional? Jawabannya, walaupun laboratorium outdoor kami seluas langit dan Bumi (karena kami berurusan dengan dimensi Bumi, serta puluhan satelit yang mengorbit), kami juga masih memerlukan laboratorium indoor untuk menunjang pekerjaan-pekerjaan di laboratorium outdoor. Kalau dibandingkan dengan jurusan lain, tentu berbeda sekali. Jurusan-jurusan lawas tersebut memiliki fasilitas laboratorium yang lebih lengkap dan berkembang. Otomatis mereka lebih leluasa dalam melakukan riset. Berbeda dengan jurusan kami yang masih merintis. Peralatan kami pun masih terbatas, dan itupun juga sering diajak praktek di luar kampus (baca: proyek).
Nah sekarang dari segi kehidupan kampus, yang serius maupun agak serius. Saya akui (bukan saya, lebih tepatnya BAN-PT), setelah 12 tahun berdiri jurusan saya masih terakreditasi B di antara jurusan-jurusan lain di ITS yang kebanyakan sudah A. Wajarlah, sebagai jurusan geodesi yang relatif baru tentu berbeda dengan yang sudah uzur seperti Teknik Geodesi ITB (akreditasi A). Tetapi paling tidak kita sudah sejajar dengan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM,yang akreditasinya sama-sama B walau lebih senior). Konsekuensinya pasti ada pembedaan ketika perekrutan kerja, di mana lulusan program studi terakreditasi A pasti lebih mudah diterima daripada lulusan program studi dengan peringkat akreditasi di bawahnya. Di kalangan mahasiswa sendiri pun, iklim keilmiahan mahasiswa geodesi masih kurang (nggak usah jauh-jauh, minat keilmiahan saya sendiri juga masih pas-pasan kok). Ini tampak pada hampir sebagian besar gelaran PKM, proposal dari jurusan kami hanya sedikit jika dibandingkan jurusan lain yang dapat mencapai ratusan proposal per jurusan. Pun halnya jika ada lomba karya ilmiah, paling-paling yang ikut cuma seorang teman saya yang untungnya, sudah langganan juara kok.
Dari segi penampilan (masalah ini cukup sensitif) pun bisa dilihat perbedaan lifestyle mahasiswa geodesi dengan mahasiswa jurusan lain. Soal transportasi ke kampus misalnya, parkiran mobil jurusan ini relatif sepi dibandingkan dengan jurusan tetangga yang dipenuhi sedan dan city car. Jangan pernah membandingkan parkiran Teknik Geodesi dengan Arsitektur ya, percuma membuat perbandingan yang sudah jelas hasilnya. Menurut beberapa mahasiswa, itu tak jadi soal karena mahasiswa geodesi memang harus terbiasa jalan kaki. Kalau transportasi pun mengandalkan motor karena bisa mengakses tempat-tempat yang tidak bisa dilalui mobil. Atau yang sedang ngetrend sekarang pakai sepeda yang dipopulerkan oleh GeoBike. Anggap saja mendukung rektor baru dengan jargon ecocampus-nya. Maklum, ‘kan harus siap menjelajahi tempat-tempat paling terpencil sekalipun. Apakah ini semacam pledoi ? Entahlah. Kulit gosong, kumal, atau acak-acakan adalah salah satu ciri yang “sunnah” ada pada mahasiswa geodesi. Bahkan sampai ada pemeo, kalau tidak hitam, kumal, dan acak-acakan berarti bukan anak geodesi karena tidak pernah praktikum Ilmu Ukur Tanah. Untungnya gejala ini sedikit berkurang ketika sudah tingkat atas. Ini berlaku baik pada mahasiswa maupun mahasiswi. Khusus untuk mahasiswi, mahasiswi di sini penampilan dan sifat kewanitaannya agak berbeda dibandingkan jurusan lain (silahkan interpretasikan sendiri). Mungkin karena pengaruh praktikum Ilmu Ukur Tanah. Jadi hanya sedikit mahasiswi geodesi yang cukup “prospektif” dibandingkan mahasiswi jurusan lain. Dalam bahasa sastra, mereka ibaratnya bunga mawar yang tumbuh di tengah padang ilalang. Fenomena sedikitnya mawar di tengah ilalang ini sepertinya menjadi masalah bersama bagi jurusan teknik geodesi di seluruh Indonesia sebagaimana kisah yang saya dengar dari alumnus Geodesi ITN Malang dan para delegasi dari beberapa pertemuan IMGI (Ikatan Mahasiswa Geodesi Indonesia). Saya pernah melihat sendiri bagaimana penampilan mereka. Tidak jauh beda dengan kami. Hahaha.
Miris ya, seolah-olah kuliah di jurusan ini kurang membahagiakan. Tetapi saya lihat trend-nya akhir-akhir ini sudah mulai membaik. Kami perlu, dan mulai membangun kepercayaan diri.
Yang Patut Disyukuri di Teknik Geodesi
Terlepas dari hal-hal tidak mengenakkan di atas, sebenarnya bisa berkuliah di jurusan teknik geodesi adalah sesuatu yang sudah sepatutnya disyukuri. Menurut saya, geodesi adalah cabang ilmu yang paling berkembang pesat dalam satu abad terakhir. Sedemikian pesatnya perkembangan itu sampai memunculkan istilah geomatika pada tahun 1969. Istilah baru ini pun dirasa lebih tepat untuk mengakomodasi kompleksitas permasalahan yang dikaji dalam geodesi. Jika sebelumnya hanya hitung-hitungan koordinat untuk membuat peta, sekarang sudah berkembang hingga analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan komputer untuk menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan entitas lokasi sebagai tempat semua aktivitas manusia berlangsung. Di geodesi, kami tidak hanya mempelajari bagaimana bentuk dan ukuran Bumi serta bagaimana menentukan posisi secara teliti di muka Bumi sebagaimana definisi klasik tentang geodesi yang sedikit saya jelaskan tadi. Kami tidak hanya mempelajari ilmu ukur tanah, dan menentukan beda tinggi tanah untuk membuat peta sebagaimana yang sering disangkakan orang bahwa geodesi adalah ilmu ukur tanah. Pengetahuan itu hanya sebagian kecil dari yang kami pelajari, yang walaupun konsepnya sederhana dan sering diremehkan ternyata bisa sangat menentukan nasib keseluruhan suatu proyek.
Seperti nama geomatika yang oleh beberapa orang disebut-sebut juga sebagai geodesi-informatika, kami pun banyak bersinggungan dengan dunia komputer dan teknologi terkini. Jujur ya, perkembangan dunia geodesi dan geomatika dalam beberapa tahun terakhir sangat pesat. Dari pengukuran dengan theodolit dan perhitungan manual yang rumitnya setengah mati dengan field notes, berkembang hingga penggunaan total station, laser scanner, videogrametri, satellite imaging, web mapping, dan Global Positioning System (GPS) yang serba instan dan otomatis. Ya, GPS yang sedang booming-boomingnya di HP Anda juga. Juga Google Earth dan Google Maps yang sering Anda pakai. Otomatis mau tidak mau kami harus mengikuti perkembangan terkini. Boleh dibilang, tugas-tugas di bidang geodesi dan geomatika semakin bertambah, dan banyak yang dikerjakan dengan bantuan komputer beserta berbagai teknik dan instrumen pengumpulan data. Dan di sinilah kami belajar memprogram komputer. Orang tua saya pun bersyukur saya kuliah di sini daripada di jurusan Teknik Informatika, karena ternyata saya juga bisa belajar informatika di sini walaupun hanya pengenalan. Soal pendalaman, itu hanya soal waktu dan minat. Hehe.
Kami pun banyak mempelajari bidang-bidang ilmu lain karena pendekatan teknik geodesi dan geomatika bisa diterapkan di berbagai bidang, seperti lingkungan hidup, tata kota, politik, dan sosial ekonomi masyarakat. Bidang-bidang lain yang tidak berorientasi pemetaan pun bersinggungan dengan pengetahuan yang berkembang dari geodesi dan geomatika. Misalnya, teknik fotogrametri yang sebelumnya dikembangkan untuk pemetaan dari udara, ternyata bisa diterapkan dalam pengukuran teliti terhadap objek buatan manusia, seperti bangunan dan mesin. Pendekatan inilah yang banyak digunakan para arsitek maupun arkeolog dalam berbagai proyek cultural heritage. Dalam dunia industri dan reverse engineering pun teknik ini dapat diterapkan untuk memeriksa ketepatan prototip suatu produk terhadap desain aslinya, yang saat ini teknik ini mulai dipadukan dengan teknik laser scanning. Yang lebih ekstrim lagi, saya pernah membaca sebuah majalah keluaran teman-teman Ikatan Mahasiswa Geodesi ITB, yang mengulas penerapan teknik fotogrametri jarak (sangat) dekat. Fotogrametri, sebagai seni memperoleh informasi objek 3D dari foto 2D ternyata dapat diterapkan dalam dunia kedokteran, seperti pemeriksaan gigi teliti tanpa harus mengobok-obok mulut pasien dan pemeriksaan tulang dengan X-Ray photogrammetry. Dan di luar negeri, teknik videogrametri (satu langkah lebih tinggi dari fotogrametri) diterapkan untuk mempelajari gerakan manusia. Betapa teknik geomatika sangat menggurita hingga seolah mengintervensi domain ilmu-ilmu pengetahuan lain.
Soal persinggungan dengan ilmu lain, bagaimana teman-teman geodesi ITS menyikapinya? Teman-teman saya angkatan 2008 sudah menunjukkannya dengan mengerjakan berbagai tugas akhir yang sangat lebar spektrum temanya. Ada yang membahas tentang pemetaan, deformasi gunung, perikanan, pertanian, kehutanan, dan lingkungan hidup. Ada juga yang mengerjakan tugas akhir dengan tema yang bersinggungan dengan dunia politik internasional, sosial ekonomi masyarakat, arsitektur, fotografi, komputer dan jaringan, penerbangan, hingga tata kota. Saya beri contoh salah satu, yaitu yang membahas tentang masalah perbatasan Indonesia dan Malaysia yang hingga hari ini belum jelas kesepakatannya. Kenapa? Dalam pemahaman saya itu disebabkan kedua negara ngotot menggunakan peta versi mereka sendiri-sendiri untuk kepentingannya sendiri, dan dari sisi pemetaan inilah kawan saya membahasnya. Dan tentunya dia yang lebih tahu ya. Tidak hanya itu, ada juga yang menulis TA terkait dengan desain dan visualisasi, yaitu tentang kajian tentang peta-peta komersial yang beredar di pasaran, ditinjau dari sisi kartografi menyangkut ketelitian geometris dan juga seni dalam visualisasi simbol-simbol atau legendanya. Banyak sekali ya pilihan temanya. Saya pun pernah iseng-iseng berdiskusi dengan teman saya, bahwa di fakultas kami, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), tugas akhir mahasiswa geodesi sepertinya yang paling bervariasi topiknya dibandingkan dengan jurusan lain dalam satu fakultas. Rasanya tema tugas akhir kami “menginvasi” semua jurusan entah di dalam kampus yang sama atau berbeda. Mahasiswa Oseanografi ITB, Ilmu Kelautan IPB, dan Pascasarjana Teknik Kelautan ITS pun pernah membuat karya ilmiah yang boleh dibilang mirip-mirip lah dengan salah satu topik tugas akhir kawan kami.
Ilmu ini kurang populer karena hasil kerjanya kurang terlihat di permukaan. Dosen saya mencontohkan, misalnya apabila developer perumahan membangun real estate, atau mall, pasti masyarakat akan lebih melirik bahwa ini adalah hasil kerja insiyur sipil atau arsitek semata. Ya bagi saya sah-sah saja kalau orang beranggapan seperti itu karena ketidaktahuan mereka bahwa segala urusan memang sudah ada ahlinya, termasuk soal ukur-mengukur. Kira-kira di manakah peran teknik geodesi dalam proyek tersebut? Pengalaman saya terjun dalam suatu proyek di Probolinggo mengantarkan saya bertemu dengan seorang alumnus Geodesi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang yang memiliki banyak pengalaman kerja. Oh iya, di Probolinggo ini saya ikut terjun dalam proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang mencakup wilayah 2 RW, dan kebetulan alumnus Geodesi ITN ini adalah ketua salah satu RW-nya. Mungkin beliau adalah ketua RW paling canggih yang pernah saya temui. Beliau menceritakan bahwa dulu pernah dibangun suatu perumahan di Kalimantan tanpa melalui proses survei topografi terlebih dahulu. Jadi begitu tanah-tanah dikapling, dibangunlah puluhan unit rumah beserta jalan dan infrastruktur lainnya. Hasilnya? Setiap musim hujan daerah itu pasti kebanjiran dan pihak kontraktor pun kena batunya. Setelah disurvey barulah ketahuan bahwa daerah itu merupakan daerah tangkapan air yang posisinya lebih rendah. Menurut beliau, seharusnya tenaga-tenaga di bidang geodesi dan geomatika dilibatkan sejak awal dalam perencanaan proyek. “Kami tidak tahu bahwa ada orang-orang seperti itu”, begitu dalih pihak kontraktor. “Salahmu sendiri kenapa tidak tahu”, pak RW menimpali. Diskusi dengan pak RW ini pun menambah wawasan saya bahwa persoalan ukur-mengukur ini memegang peranan penting. Seperti pada proyek IPAL ini, para insinyur sipil dan lingkungan tidak bisa memasang pipa limbah tanpa informasi elevasi tanah. Dengan modal ilmu ukur tanah dan waterpass pun sebenarnya informasi itu sudah bisa didapatkan. Terlihat sepele ya. Tetapi kalau kita tidak tahu bisa-bisa air tidak mengalir sesuai harapan. Di sinilah pentingnya. Saat ini pun saya dan beberapa teman masih berstatus sebagai orang penting dalam proyek itu karena gambar peta kontur dan profil rencana jalur pipa yang sudah kami survey belum terselesaikan. Duh, sebagai orang penting, geodet tidak boleh malas! Harus produktif!
Anda ingin kisah yang lebih bonafid seputar peranan geodesi dan geomatika ? Silahkan baca laporan teknik pembangunan Jembatan Suramadu. Tanpa tenaga ahli geodesi, saya jamin jembatan yang dibangun dari sisi Surabaya dan sisi Madura itu tidak akan tersambung. Seperti yang dikatakan Pak Villaneuva, keterlibatan ilmu geodesi dalam berbagai proyek menunjukkan level pembangunan di suatu negara.
Dan di proyek-proyek itulah banyak teman seangkatan saya yang melanglang buana terlibat berbagai proyek di seluruh Indonesia. Mulai dari proyek pembangunan pelabuhan, jalan raya, perencanaan jalur kereta api, hingga pembangunan bandara. Mulai dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Kepulauan Natuna, Sulawesi, hingga Atambua, walaupun belum pernah ada yang memecahkan rekor sampai ke Papua. Dan inilah laboratorium yang menyenangkan bagi mereka. Mahasiswa Teknik Geodesi lebih suka pergi melanglang buana mencari pengalaman kerja dan uang di luar daripada meriset. Tidak hanya di Teknik Geodesi ITS. Kawan seangkatan saya yang iparnya alumnus Teknik Geodesi ITB, bercerita bahwa di Teknik geodesi ITB pun hampir sama saja budayanya. Hobi proyekan dan honor yang didapat lumayan besar, sebanding dengan jarak dan medan yang harus ditempuh. Pada sisi lain, hobi proyekan ini malah memperkaya wawasan mereka. Mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah dikunjungi, bagi mereka kegiatan ini sama saja dengan berwisata. Salah satu kawan saya yang sempat ke Kalimantan malah diajak diving di Pulau Derawan. Tahu nggak itu di mana? Beruntunglah kawan saya itu. Selain tahu, ia pernah ke sana. Semua biaya ditanggung, dapat honor pula. Bagi saya itu adalah hal yang bagus meskipun agak menghambat studi dan kegiatan keilmiahan di kampus, seperti yang sudah saya paparkan tadi. Tentunya mereka mencari uang sesuai dengan kapasitas dan pengetahuan yang mereka miliki sebagai mahasiswa geodesi. It’s good, as good as research. Ketika terjun terlibat dalam pekerjaan nyata di lapangan pun mereka tidak canggung. Pada proyekan di Probolinggo pun, meskipun saya sudah lulus tetapi justru sayalah yang harus belajar pada kawan yang belum lulus namun kaya pengalaman di lapangan. Semoga Allah melancarkan studi kalian kawan!
Sudah lebih dari 50 tahun pendidikan tinggi geodesi di Indonesia diselenggarakan secara resmi. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pun teknik geodesi sudah diajarkan oleh para insinyur Belanda. Untuk apa? Tidak lain tidak bukan selain untuk memetakan dan mengetahui wilayah jajahannya, khususnya pulau Jawa. Sepertinya ilmu ini lekat sekali dengan urusan pertahanan, pemerintahan, politik, dan intelejen sehingga hanya orang-orang terpilih yang sanggup memahaminya. Ini bukan pendapat pribadi saya lho. Dosen saya mengatakan, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang geodesi pasti tidak jauh-jauh amat dari dunia militer. Siapa yang tidak kenal GPS yang ternyata idenya dicetuskan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) yang digunakan secara luas di seluruh dunia pun ternyata diciptakan oleh tentara Amerika Serikat. Urusan peluncuran rudal pun, mereka bahkan mengatur di mana rudal itu akan diluncurkan dan dijatuhkan. Dan sejarah membuktikan, Eropa mulai menjajah dunia setelah percaya bahwa bentuk Bumi bulat. Waw, keren sekali ya ilmu ini? Mungkin sebenarnya inilah jurusan paling canggih di ITS, cuma belum muncul ke permukaan saja. Hehe.
Walaupun sudah diajarkan di Indonesia selama lebih dari setengah abad, jurusan Teknik Geodesi termasuk jurusan langka di Indonesia. Sepi peminat. Padahal kebutuhan Indonesia akan sarjana geodesi sangat besar mengingat luasnya wilayah negara kita. Sebagian besar wilayah kita belum dipetakan, dan sebagian wilayah yang sudah dipetakan pun masih menggunakan sumber-sumber data lama. Kalau sudah begitu, tentu peluang kerja sangat terbuka lebar bukan? Apalagi seperti yang sudah saya singgung bahwa ilmu geodesi bisa menyerempet berbagai bidang sehingga peluang kerja insya Allah terbuka lebar. Inilah yang terjadi dengan alumni Geodesi ITS. Pada penerimaan Pegawai Negeri Sipil, (lupa tahun berapa, pas jamannya G8 wisuda) banyak alumni Geodesi ITS yang diterima di Badan Pertanahan Nasional. Bahkan merekalah yang mendominasi. Di perusahaan tambang pun banyak alumni Geodesi ITS yang bekerja. Salah seorang adik kelas saya yang baru pulang kerja praktek di sebuah perusahaan tambang, menceritakan bahwa di perusahaan itu hanya ada 2 orang dengan latar belakang geodesi. Padahal ia mengurusi tambang yang luasnya ratusan bahkan ribuan hektar. Dan bahkan banyak karyawan perusahaan tambang itu mengakui, beruntung sekali kuliah di geodesi karena kerjanya tidak hanya di tambang. Berbeda dengan orang berlatar belakang teknik pertambangan, begitu tambang sudah habis ia hanya bisa berharap pada tambang lainnya. Meminjam istilahnya Pak W. Chan Kim dan ReneƩ Mauborgne, bisa dibilang kami menerapkan Blue Ocean Strategy, bermain di samudera luas yang sepi penghuni. Alumni teknik geodesi justru saling memberikan lowongan, karena memang benar-benar butuh tenaga ahli, tetapi tenaga yang tersedia sangat sedikit. Kalau mengingat mahasiswa Geodesi ITB yang bersumpah serapah tadi, ia malah bersyukur setelah mengikuti perkuliahan di geodesi.
Ya, sejatinya hal-hal di atas mampu membuat kita bersyukur bisa kuliah di teknik geodesi. Sebagaimana doktrin yang selalu ditanamkan senior saya sebagai respon atas fenomena “pilihan kedua”, seharusnya kita bersyukur tersesat di jalan yang benar. Doktrin “tersesat di jalan yang benar” ini sepertinya juga menjadi doktrin yang juga diajarkan oleh kampus-kampus geodesi lain di seluruh Indonesia, baik di ITS, ITB, UNDIP, UGM, ITN, dan ITENAS. Hanya sedikit orang yang menjadikan jurusan ini sebagai pilihan pertama, padahal hidup ini tidak melulu soal pilihan pertama. Di dunia ini ada banyak orang yang hidup tidak dengan pilihan pertama, tetapi pilihan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Insya Allah. Dan semoga ini bisa membuat mahasiswa-mahasiswa kami lebih percaya diri dengan jurusannya. Apalagi yang menggembirakan, tahun ini banyak kawan-kawan dan adik-adik kami yang berhasil mengangkat nama Teknik Geomatika ITS baik di level nasional maupun internasional. Ada yang mengikuti Atlantic Challenge di Irlandia, paduan suara di Italia, sampai kompetisi robot di Hongkong (robot? kan sudah saya jelaskan tadi, teknik geodesi bisa ke mana-mana. hehe). Kemudian yang patut diapresiasi adalah kemajuan Himpunan Mahasiswa Geomatika ITS yang sudah berusaha menggalakkan iklim keilmiahan di lingkungan jurusan. Bahkan jurusan kami dinobatkan oleh BEM ITS sebagai jurusan dengan prestasi keilmiahan yang paling meningkat drastis tahun ini. Dan hal ini tidak sia-sia dengan keberhasilan mahasiswa kami yang meraih medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa tingkat Nasional (PIMNAS) 2012 di Yogyakarta. Selamat!
#GeoQuote
Saya menyebutnya #GeoQuote, kata-kata motivasi yang terinspirasi dari dunia geodesi. Ada banyak sekali
#GeoQuote
yang bisa kita selami maknanya. Tidak kalah dengan bahasanya Pak Mario Teguh. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, hasil kerja tenaga ahli di bidang geodesi sangat jarang yang muncul ke permukaan. Karena pekerjaan-pekerjaan teknik geodesi umumnya berada pada tahap awal keseluruhan proyek yang akan menentukan nasib semua proses berikutnya hingga selesai. Dosen saya pernah berkata, di sini kita belajar ilmunya tukang batu. Kalau membangun rumah pasti mereka tidak pernah ditanya siapa yang memasang batu, siapa yang mengukur, dll. Pasti ditanya, yang merancang siapa? Walaupun peran ini seharusnya diakui dan dihargai, di sinilah kita belajar untuk tidak usah terlalu bernafsu mengejar pengakuan. Di sini kita diajarkan untuk rendah hati dan tidak merasa yang paling benar.
Di sini kita belajar untuk mengetahui bahwa semua manusia pasti punya kesalahan. There is no perfect reading. Tidak ada yang bisa mengukur dengan benar-benar tepat, karena nilai ukuran itu hanya Tuhan yang tahu. Kesalahan itu adalah sesuatu yang bisa diperbaiki selama masih dalam batas toleransi. Dan di sini pula kita belajar bahwa untuk meminimalkan kesalahan ukuran, maka kita perlu mengambil ukuran lebih. Lebih dan lebih, tetapi jangan melampaui batas normal ya karena nanti tidak selesai ngukurnya. Mencari informasi lebih dalam, untuk mendapatkan fakta yang lebih akurat. Saya umpamakan ini seperti foto udara stereo. Like photogrammetry, you can add more dimension into your knowledge, only if you have at least two different points of view. Dalam kehidupan sehari-hari, melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda insya Allah bisa membuat pengetahuan kita menjadi lebih komprehensif.
Di sini pula kita belajar untuk saling bekerja sama dan menghargai sesama. Point position is determined by respecting another point. Person’s position is determined only by respecting another person. Kedudukan Anda hanya akan diakui jika Anda juga mengakui orang lain. Saling mengakui kedudukan, saling menghargai, dan menjalin relasi akan memperkuat diri satu sama lain. Ibaratnya suatu jaring titik kontrol, apabila ada kesalahan maka kita bisa saling mengoreksi satu sama lain. An error in a network is distributed to all points. An error in teamwork is a responsibility for all members. Satu kesalahan atau masalah dapat kita atasi bersama-sama. Waw, boleh juga nih #GeoQuote-nya ya. Haha. Inilah yang kami lakukan, dengan menjalin komunikasi dengan saudara-saudara Teknik Geodesi se-Indonesia dalam forum Ikatan Mahasiswa Geodesi Indonesia (IMGI) yang dihidupkan kembali pada tahun 2010 atas inisiatif HIMAGE-ITS.
Berkaitan dengan filosofi kesalahan ukur, dosen saya pernah berkata bahwa ketika lulus dari sini Anda tidak boleh merasa sudah yang paling pintar. Justru Anda akan merasa bodoh karena pendidikan ini akan membuka tabir banyak hal yang belum anda ketahui seluruhnya tentang geodesi. Merasa bodoh seharusnya bisa membuat kita termotivasi untuk terus belajar dan mencari pengalaman. Tentu saja, karena kita kuliah hanya (insya Allah) 4 tahun, padahal pendidikan tinggi teknik geodesi di Indonesia sudah lebih dari 50 tahun.
Penutup
Ada hal yang berbeda tentunya, antara yang saya tuliskan dengan kenyataan. Apa yang saya tulis, tidak semua sudah saya lakukan dan tidak semua sudah saya contohkan. Saya masih muda, masih berusaha membangun integritas. Tetapi saya merasa perlu menuliskannya agar kita bisa saling memotivasi. Tulisan ini dibuat, untuk memotivasi diri sendiri yang sedang merasa kurang percaya diri. Kalau kalian ikut termotivasi, alhamdulillah. Semoga saya segera bangkit, bersama-sama kalian tentunya!
Bismillah
Salam.
Hidayat Husnul, G10
Sumber: Hidayat, Husnul.september 2012.